CERITA UJUNG HARI

 

Ilustrasi by Pixabay


Cerutu Ujung Hari

Oleh M. Jawahirul Mawahib Fiddin (22 c)


Kebersamaan adalah hal yang diingankan setiap manusia tanpa memiliki akhir. Tapi, segala yang tercipta akan musnah, semua yang terbit akan terbenam dan berbagai yang jalan akan berhenti. Diam diam kuratapi matahari yang mulai merayap, berharap kembali pada pelataran dengan tenang. "akh... " Kembali kuhisap dalam dalam cerutu disela sela jariku "kanapa sesulit ini? " Sesalku. Sambil duduk kunikmati lagi hisapan cerutuku sedang tatapanku ikut tenggelam bersama matahari. Memoriku memutar kembali kehidupan, dimana keluarga adalah rumah terbaik untuk pulang. "Ah... " Batang cerutu kubuang begitu saja, "kenapa ini terjadi pada anak yang tak tahu apa apa sepertiku Tuhan? " Tak lagi kudapat menahan desakan air dimataku, kubiarkan dia jatuh membasahi telapakku setidaknya sampai aku tenang. 

Sayup2 kudengar pengeras suara yang bersahutan, aku terpaku dan segera menyadari apa yang telah terjadi. Tiba-tiba seseorang masuk dan menyodorkan segelas air "dah bangun kau dik? Minum lah dulu" Yah, dia adalah kakakku "aku tadi kenapa bang? " Sambil memegang kepalaku yang masih terasa sakit. "Aku tadi menemukanmu pingsan diteras, kau habis bersenja ria dik? " Pertanyaan yang kujawab dengan anggukan "kan sudah kubilang, jangan suka lihat senja. Dia hanya akan membawamu kedalam buaian yang lalu" Tak mampu ku berkata dalam hati membenarkan.

 "Kau baik baik saja dik? " Lanjut kakakku. Tapi aku diam, aku sedang tidak baik baik saja, antara hati dan fikiranku bertolak belakang. Setelah kakakku keluar aku bangkit dan pergi kekamar mandi. Kutadahkan tanganku ke langit langit runagan lalu kubasuh mukaku yang sepertinya sangat miris untuk dipandang kuusap tanganku yg mulai lelah untuk menjinjing luka. Kurasakan kesegaran tiada tara kala air mulai menyapa keningku kucuci pula kakiku yang selalu menemani setiap langkahku. "Ini adalah kesegaran yang telah kulupakan" Gerutuku. 

Setelah kujabarkan kain lusuh yang telah lama menghuni lemari, Sebisa mungkin kupanjatkan kembali mantra-mantra yang masih ku hafal dibenakku. Kuletakkan keningku sejajar dengan hidung pada tanah, kuletakkan semua ketidakmampuan ku diatas kain ini. Kupasrahkan segala masalahku padanya, Dibawah lampu neon dengan cahaya yang remang kusebutkan satu per satu kesalahan berharap diberikan pengampunan, kulafalkan satu per satu pujian berharap mendapat keridhoan. Tak dirasa suara subuh mulai menggema, ayam jantan mulai mengumandangkan perang pada dunia, sedang dia tak mampu bergerak dalam kecupnya pada bumi yang sedang ia bisiki.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Menurut saya cerpen dari mas wahib ini sudah lumayan bagus, cumak di awal awal paragraf itu agak sulit di fahami maknanya sehingga membuat si pembaca agak malas untuk melanjutkan membaca. Tapi lama kelamaan ceritanya semakin dapat di fahami apa yg ingin di sampaikan oleh si penulis ini, dan yg membuat saya kagum itu berada di paragraf terahir yang mana mas wahib ini mampu untuk memberikan makna tersirat yang ada pada paragraf tersebut yakni tentang sholat,


    #@fiqul

    BalasHapus