Peony Adalah Kamu

 


‘’Mas, saya sudah faham sekarang, dengan apa yang mas maksud cinta itu suci. Saya sudah

merasakannya mas. Saya berharap jikalau tidak bisa di dunia, saya ingin di surga bersama’’ -Peony,

2020-

‘’Mbak Aisyah, tolong buku ini dikembalikan ke meja saya. Mbak sepertinya saya sudah tidak lama

lagi, terimakasih ya mbak sudah menemani saya, saya pamit’’.

‘’Asyhaduallaillahaillallah’’.

‘’Bu, Bu bangun bu, Ya Allah apa yang telah terjadi’’

(Bekasi, 1960)

Desa Sukabungah, menjadi salah satu desa yang terkenal di kota Bekasi. Selain memiliki

keindahan alam berupa Curug Parigi, Sukabungah juga memiliki pesarehan wali yang bernama

Syeikh Suhaimi, Seorang pahlawan Indonesia yang ditakuti oleh Belanda.

Tangisan bayi terdengar di sudut desa tersebut, masyarakat desa berbondong-bondong

menuju kediaman Pak Sholeh yang merupakan ketua RT disana.

‘’Masyaallah, Alhamdulillah bu anak nya cantik, seperti ibunya’’.

‘’Terimakasih, Mbah sudah membantu saya melahirkan’’.

‘’Iya, sudah kewajiban saya sebagai dukun bayi, selamat ya’’.

Terukir senyum cerah di wajah masyarakat yang sejak pagi menanti kelahiran anak dari

ketua RT tersebut. Mengetahui bahwa anak tersebut telah lahir, mereka segera menengok kondisi

ibu dan bayi secara bergantian dan mendoakan agar kelak bayi tersebut menjadi putri yang

sholehah, penuh cinta kasih juga bisa menjadi panutan masyarakat.

‘’Buk, saya ingin menamai yang ada Lia nya, biar kelak dia bisa menjadi wanita yang

lembut dan Mulia akhlaknya’’, Pak Sholeh yang berada di samping istrinya bergantian

menggendong putri kecilnya tersebut.

‘’Enggeh pak, sak kerso njenengan’’. Iya pak , terserah bapak

Sedangkan di Jawa bagian Tengah (Salatiga, 1960)

Seperti yang telah di sangka, Bu Nyai Nashikatul Ummah hari ini melahirkan putranya

yang ke 4. Bayi tersebut sehat dan tampan seperti kakak-kakaknya. Namun hal yang tak pernah

disangka-sangka terjadi. Bersamaan dengan lahirnya bayi tersebut, Bu Nyai Nashikatul Ummah

menghembuskan nafas terakhir. Doa yang dimohon olehnya sebelum benar-benar pergi adalah,

anakku adalah anak yang penuh cinta.

Kepergian Bu Nyai di warnai isak tangis keluarga besar pesantren dan juga masyarakat

sekitar, Bu Nyai yang selama ini dikenal dengan sifat yang welas asih juga dermawan harus

berpulang di usia 45 tahun.

(Salatiga, 1972)


Kehidupan bayi kecil yang memiliki nama Anhiq diwarnai kebencian oleh saudarasaudaranya, mereka menganggap Anhiq adalah penyebab meninggalnya ummi. Satu-satunya

orang yang sayang terhadapnya hanyalah Abah. Sampai suatu saat di usianya yang menginjak 12

tahun ia harus kehilangan orang yang sangat menyayanginya, ya Abah berpulang menyusul ummi.

Di tahun yang sama ia harus berangkat ke pesantren yang ada di Jombang, tepatnya di desa

Tambakberas untuk menimba ilmu sesuai dawuh abahnya.

Anhiq kecil masih belum faham sakitnya kehilangan orang yang dia sayang, yang ia tau

bahwa bila ditinggalkan kau akan menangis dan merindu. Kehidupannya di Pesantren berjalan

dengan semestinya, sudah 3 tahun dia tidak pernah menginjakkan kakinya di Salatiga lagi. Ya dia

sudah terbiasa dengan kehilangan.

Di bagian lain tembok pesantren tersebut ada seorang gadis yang saat ini sangat senang

karena dia terpilih menjadi mbak-mbak ndalem yang akan menemani tindakkan ummi dan ning.

Dia adalah Lia, ya bayi yang lahir di Bekasi tersebut sekarang akan naik di bangku Madrasah

Aliyah. Dan sedang menyimpan cinta monyetnya dalam diam kepada salah satu gus nya. Tapi

takdir berkata lain gus nya ternyata sudah punya calon yang akan segera dinikahkan. Tapi Lia

adalah seorang anak yang dengan gampangnya mengalihkan rasa sukanya kepada orang lain, dan

orang lain tersebut jatuh kepada Anhiq teman sekolahnya. Lia dengan tingkah nya yang agak

absurd jika di sekolah selalu di jodohkan teman-temannya dengan Anhiq karena memiliki

kemiripan dari segi wajah. Namun Lia adalah seorang santriwati yang harus tetap menjaga

muru’ahnya sebagai wanita, dia pantang menyatakan perasaannya terlebih dahulu.

Sampai pada suatu hari ia menemukan selembar kertas di dalam kolong mejanya dan

sebuah bunga mawar kecil, ia pun membukanya dan terkejut mendapati tulisan nama Anhiq di

kertas tersebut. Dengan tangan bergetar ia memasukkan kertas tersebut ke dalam saku

kemejanya memutuskan membacanya saat kembali ke asrama saja. Waktu menunjukkan pukul

11.00 dimana saatnya kembali ke asrama masing-masing. Lia berjalan untuk kembali ke asrama

dan berhenti di taman kecil samping asrama, ia membuka kertas tersebut.

‘’Klise sekali dia pakai surat-surat gini, ngomong langsung kan juga bisa’’, Batin Lia.

Hai peony. Kamu itu penyembuh. Dan aku manusia penyakitannya.

-AnhiqLia mengerutkan dahi, peony? Siapa peony, apakah ia salah memberikan surat. Namun di

kelas kita maupun di sekolah kita tak ada yang namanya peony. Ternyata surat dari Anhiq tak

berhenti sampai disana saja, dalam kurun waktu yang berdekatan ia selalu menemukan surat di

bangkunya yang tak lain adalah dari Anhiq. Namun ia masih belum faham arti dari surat-surat

tersebut. Terkadang surat itu ada bersama bunga mawar kadang juga alang-alang kecil yang kering. Ia mengumpulkan seluruh suratnya hingga tak terasa ia akan menghadapi kelulusan di 

tahun tersebut.

Waktu berlalu, acara kelulusan telah usai. Dan hingga saat itu masih tak ada penjelasan 

apa pun dari Anhiq mengenai surat-suratnya selama ini, namun yang ia tahu bahwa setelah ini 

Anhiq akan meneruskan belajarnya di Belanda. Sedikit sesak menerima kenyataan bahwa dirinya 

tidak akan lagi melihat ia saat berangkat sekolah. Dirinya pun harus melanjutkan belajarnya, ia 

memutuskan untuk menimba ilmu di PPTQ Sunan Gunung Djati. Disana ia makin merasakan 

kerinduan terhadap surat-surat yang biasanya ia dapatkan. 

‘’Lia, ini ada kiriman surat untukmu dari siapa ini?’’, Lia terlonjak menghampiri Mbak Zira.

‘’Wah, ini dari teman lamaku yang sekarang kuliah di Belanda mbak’’, Seperti yang kalian 

tebak, surat tersebut dari Anhiq !!, dengan semangat Lia membuka surat tersebut.

Lia, ya ini aku Anhiq. Sudah lama sejak saat itu ya. Aku berharap surat-surat yang biasanya ku taruh 

di mejamu masih kau simpan. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu kepadamu mungkin untuk yang 

terakhir, cinta itu suci Lia, aku tidak ingin menodai dengan dosa-dosa yang mungkin akan kita 

perbuat. Oh iya aku minta kepadamu untuk selanjutnya ikhlaskanlah dirimu kepada yang kau cinta, 

karena aku juga akan ikhlas. Di sini aku sedang sakit, yang mungkin sakitku tak bisa sembuh. Jangan 

mengharap aku kembali Lia, aku sudah rindu dengan Ummi dan Abahku.

-AnhiqDan benar saja itu adalah surat terakhir dari Anhiq untuknya, surat-surat yang 

sebelumnya menjadi penyemangatnya untuk mencari apa itu arti cinta yang sesungguhnya, kini 

tak ia dapatkan lagi. Ia tak tahu bagaimana kabar Anhiq selanjutnya. Ia hanya mengumpulkan 

surat-surat darinya yang ia bukukan.

Air jernih yang menghanyutkan ku. Aku hanyut dengan indah.

-Anhiq

Cinta dan harapan bersama hanyalah semu. Karena aku telah merindu.

-Anhiq

Abadikan cintamu dalam setiap sajak dan lantunan do’a. Semoga itu membantu cepat bersatu.

-Anhiq

Peony adalah bunga. Dan peony adalah kesukaanku. Sekali lagi peony itu kamu.

-Anhiq

Begitulah beberapa surat yang Anhiq tulis. Lia sudah cukup merindu, ia ingin 

mengabdikan dirinya kepada kekasihnya seperti yang telah Anhiq katakan. Ia ikhlas dengan 

kesendirian menikmati sepertiga malam dengan pelukan cinta dari-Nya, ikhlas mengabdikan 

dirinya juga ikhlas menikmati sajak-sajak takdir bersama dengan-Nya. Karena pada akhirnya 

cinta adalah keikhlasan, dan cinta adalah rasa suci yang tak ingin ia nodai dengan hal-hal manusiawi. Mungkin saat ini Anhiq sudah berada pada cinta yang abadi, dan tinggal menunggu 

saat dimana ia juga akan jatuh kepada cinta yang abadi.

Jika tak bisa bersama didunia, mari kita bersama di surga. Semoga do’a yang selama ini 

terlantunkan sampai kepada pemilik cinta- Peony.


Karya : Alhiqna Bil-Fauz
Editor : Akhmad Ulil 

Posting Komentar

0 Komentar