STARLIEF AND YOU PART 2

                                                                    IlustrasiHMJ MPI UIN Walisongo

STARLIEF AND YOU

KELAS MPI 18 A

        “Selamat datang di Starlief!”
      Orang-orang menyambut aku dengan ramah. Mereka memberikan berbagai macam bingkisan. Anak-anak kecil membawakan lolipop. Aku tersenyum lebar. Ini penyambutan paling meriah yang pernah aku alami. Berbanding terbalik ketika aku baru datang di suku pedalaman.

         Seorang laki-laki gemuk berkumis panjang menghampiri kami. Dia memakai jas hitam serta dasi kupu-kupu. Wajahnya terlihat tidak bersahabat. Pembawaannya angkuh. Aku tidak begitu menyukainya sejak pertama kali bertemu.

        “Dia Tuan Kaz. Kepala asrama khusus pendatang baru. Asrama itu gratis. Kau tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun. Kau juga tak perlu takut padanya. Dia memang menyebalkan, tetapi dia sangat baik,” tutur Loisa.

        Aku tidak melihat kebaikan di matanya. Tapi, baiklah. Aku tidak akan membuat masalah di dunia asing ini. “Lalu bagaimana dengan kau, Loisa?” tanyaku.

        “Jangan panggil aku Loisa di sini. Panggil aku Peri Eloise. Di Starlief namaku bukan Loisa. Jika kau bingung, aku memimpin dua “negara” sekaligus,” terang Loisa alias Peri Eloise.
        Sebuah kereta terbang mendarat tepat di depanku. Tuan Kaz menyuruhku segera menaiki kereta tersebut. Aku melambaikan tangan kepada Peri Eloise untuk berpamitan. Kata Tuan Kaz, aku harus segera pergi ke asrama. Ada satu misi untuk pendatang baru. Semua orang yang berada di Starlief, baik tamu maupun penduduk tetap, mendapat misi sesuai usia mereka.

        Aku sampai di asrama dua jam kemudian. Asrama itu terlihat tinggi menjulang di tengah kota. Seluruh bangunan di Starlief berukuran raksasa. Itu dikarenakan panjang sayap penduduk di sini berbeda-beda. Semakin panjang sayapnya, maka semakin dewasa pula umurnya. Panjang sayapku sendiri mencapai dua meter. Tapi sebagai gantinya, tinggi badanku tidak mengecil seperti peri-peri di negeri dongeng.

        Aku turun bersama Tuan Kaz dan Nyonya April. Suasana di sini tidak begitu ramai. Hanya ada tiga orang yang sedang duduk-duduk di kursi taman asrama. Aku diantar menuju kamar nomor 241 di lantai dua.

        “Apakah kau membawa baju?” tanya Nyonya April.

      Aku menggeleng. Bahkan aku tidak tahu ke mana perginya tas gunungku. Seluruh perlengkapan baju dan makanan hilang ditelan jurang.

       “Ada lemari di dalam kamar. Di dalamnya terdapat baju-baju untuk pendatang baru. Kau bisa memakainya,” terang Nyonya April, “Dan … oh iya, nanti pukul 7 malam, kuharap kau datang ke aula asrama. Akan ada pemberian misi untuk pendatang baru.”

        Wanita berumur 40-an itu memberiku kunci kamar. Kemudian dia pergi bersama Tuan Kaz. Aku termangu di tempat begitu mereka meninggalkanku sendirian. Suasana di koridor asrama tampak menyeramkan. Walaupun lampu-lampu telah dihidupkan, tidak ada suara manusia selain hembusan napasku. Aku bergidik ngeri. Dengan segera aku memutar knop pintu dan masuk ke kamar untuk beristirahat.

***

        Aku terbang ke bawah menuju aula asrama. Di sana sudah ada banyak tamu sepertiku yang sedang menunggu kedatangan Tuan Kaz dan Nyonya April. Beberapa di antara mereka menatapku lekat-lekat. Mereka sedikit norak. Ketika ada orang asing yang datang, mereka menatap tajam seperti hendak memangsa. Orang-orang ini tidak ada bedanya dengan suku pedalaman di hutan.

        Aku berjalan di tengah kerumunan. Sayapku seringkali bertabrakan dengan sayap orang lain. Setelah mendapat kursi kosong, aku segera menempatinya. Namun tak lama kemudian, ada seseorang yang menduduki kursi di sebelahku. “Namaku Genevieve Jayre. Panggil saja Jay. Kamu siapa?” Dia mengajakku berkenalan.

        “Aku Ivy Ashlyn. Kau boleh memanggilku apa saja. Asalkan bukan Ash,” jawabku.

Kami berbincang cukup lama. Membahas hal-hal menarik di negeri ini. Dia juga pandai mencairkan suasana. Satu fakta yang baru saja aku tahu dari dia adalah Jay gampang tertawa. Kalau di bahasa zaman sekarang namanya receh. Jay juga mudah berbaur dengan orang baru. Aku senang bisa berteman dengannya.

       “Ivy, aku akan bercerita tentang asal usul nama Starlief.” Jay memperbaiki posisi duduk lalu menghadap ke arahku.

        “Silakan,” kataku.

    “Star berasal dari bahasa Inggris yang artinya bintang. Masyarakat di sini sangat mengagumi bintang. Lalu ada lief yang diambil dari kata relief. Penduduk juga suka mengukir relief. Banyak yang menjadi seniman di sini. Makanya tidak heran apabila kamu melihat ukiran relief di mana-mana. Masyarakat mencintai seni.”

    Kami melanjutkan perbincangan hingga Tuan Kaz dan Nyonya April terbang mengambang di aula. Bersiap memulai acara pemberian misi kepada pendatang baru. Aku hanya memperhatikan isi utama dari acara ini. Aku terlalu malas mendengarkan sambutan-sambutan yang membosankan.

       “Ivy Ashlyn. Misi pertama dan terakhir yaitu mencari bola kaca berisi berlian di Gunung Merah. Pencarian dilakukan maksimal selama satu minggu.” Tuan Kaz berbicara lebih lantang ketika menyebut namaku. 

        Satu jam kemudian, acara pemberian misi pun berakhir. Aku dan Jay keluar dari aula asrama. Dia mengajakku berkeliling asrama. Ada banyak orang di sini. Tidak sesunyi saat sore tadi. Jay menunjukkan ruang tunggu, dapur asrama, lapangan olahraga, dan lainnya. Aku baru tahu kalau dia bekerja di sini sebagai chef utama. Pantas saja selama acara tadi berlangsung, nama Jay tidak disebutkan. 

     Setelah berkeliling lama, Jay mengantarku ke kamar 241. Dia hendak berpamitan kepadaku. 

        “Selamat malam, Ivy. Semoga besok pagi kita bertemu kembali!” 

    Perlahan tubuh Jay mengambang di udara. Dia melambaikan tangan lalu terbang ke bawah. Aku membalas lambaian nya sambil tersenyum lebar. Hari ini aku mendapat teman baru di dunia yang begitu asing untukku. Semoga aku dan Jay bisa berteman baik tanpa menyimpan perasaan lebih. 

         Satu minggu kemudian ….

Posting Komentar

0 Komentar