Rumah (Part 2)
author by rizqia
Mereka menyebutku sebagai sosok manusia kuat, sosok manusia yang mungkin tidak benar-benar mempunyai rumah. Manusia yang bisa tidur kapan dan dimana saja aku mau. Hariku adalah pertualangan, hidupku serupa hutan belantara, mengerikan untuk di jelajahi sembarang manusia. Aku jelas bukan tipe manusia yang irit bicara atau miskin tersenyum, aku tipikal manusia yang mudah dicintai siapapun.
Hanya, tidak pernah benar-benar diberi kesempatan oleh seseorang untuk menyentuh duniaku dengan benar, manusia yang tidak pernah menetap di suatu tempat ini lebih senang menjadi seseorang yang asing bagi orang lain, aku tak suka dikenang manusia lain sebagai suatu yang menyenangkan, aku tak suka mengecewakan kalau pada akhirnya aku memang harus segera menghilang.
Duniaku adalah diriku sendiri, tujuan hidupku adalah menyenangkan diriku sendiri. Bukan demi siapapun atau untuk apapun, mungkin manusia ini adalah salah satu dari segelintir manusia yang bosan menaruh harap pada tubuh selainnya, aku mau bahagiaku adalah aku sebagai pencipta.
Tapi mau sampai kapan begini? Pertanyaan itu kadang menelisik dalam kepalaku, apa nanti aku akan bertemu pada seorang manusia yang mampu mengurai kutukan ketidak betahannya itu. Apa akan ada yang benar-benar bisa menjadi alasanku tinggal dan berhenti berpetualang, ketika aku sudah menemukan rumah.
Rumah yang benar-benar rumah.
-
Hidup adalah rentetan perjalanan dalam mencicipi kesedihan. Dunia yang kita tempati seolah hanya neraka yang disulap dengan berbagai warna. Pernah sekali aku mengutuk Tuhan dan alam raya. Bahkan usaha melenyapkan diri sudah tak bisa dihitung dengan jari. Sesekali aku ingin berlayar, lalu berharap kapalku karam dan aku pun ikut tenggelam. Apa kita menjemput mati saja? Barangkali dosa besar akan menyelamatkan kita nantinya.
Namun hidup juga bukan hanya perihal senang dan sedih. Seumpama roda yang berputar tak tahu henti. Kala dalam titik terpatah itu, seseorang menyelamatkanku. Bahagia memang jadi suatu hal yang tak pasti, namun usaha menjemput gelak yang tersebar di penjuru jagat raya, itu sungguh adanya.
“Jika untuk memberimu kesempatan menyerah, saya tidak bisa. Tapi untuk memberi kesempatan yang lain, seperti halnya kesempatan hidup bersamamu, saya mau. Mau sekali.”
Suara berisik dari kepalaku mendadak jadi sunyi. Seketika ia melenyapkan segala kebisingan dunia. Dan aku tahu, bahwa hanya dialah yang bisa melakukannya. Cuma dia.
Dia yang paling mengerti mengapa aku ingin sekali pergi jauh dari tanah kelahiran sedang disini ada rumah yang bisa jadi tempat pulang. Kukatakan padanya bahwa aku ingin pergi ke tempat dimana aku bisa berteriak dan menangis sepuasnya, lalu ia menjawab, “pelukanku adalah tempat yang tepat.”
Ia paling mengerti bagaimana rumitnya isi kepalaku. Betapa banyak pertanyaan perihal hidup yang semakin hari semakin mengerikan. Tentang untuk apa kita dilahirkan sedang kita tidak menginginkannya. Tentang mengapa dulu kita begitu berani mengatakan sanggup untuk hidup sedang saat ini yang kita inginkan hanyalah mati. Tentang apa dan dimana titik akhir dari tujuan hidup. Tentang mengapa menjadi dewasa begitu melelahkan. Juga, bagaimana jika yang kita lakukan hanya menunggu giliran mati. Apa kita hanya akan menjadi seonggok mayat yang ditempatkan dalam neraka paling kejam? Hidupku mungkin tak lebih sebatas mengikuti aturan semesta; untuk tetap hidup. Aku sama seperti kebanyakan orang yang memikirkan masa depan, bangun untuk sesuap nasi dan mencari-cari jawaban atas pertanyaan malam tadi. Waktu bagai kepulan asap yang membungbung lalu sekejap lenyap. Namun untuk hidup kali ini, aku ingin bisa menyulapnya. Tak mesti selayaknya surga tapi cukup untuk memiliki alasan bertahan lebih lama. Aku ingin hidup, lima tahun, sepuluh tahun, bahkan seribu tahun lagi. Dan alasan paling luas mengapa aku ingin tetap hidup adalah, keberadaan satu manusia yang menorehkan warna pada kanvas kelam dunia.
Ia tidak membawaku kemana-mana, namun aku sudah menemukan arti kata pulang dan rumah yang sesungguhnya.
Mereka menyebutku sebagai sosok manusia kuat, sosok manusia yang mungkin tidak benar-benar mempunyai rumah. Manusia yang bisa tidur kapan dan dimana saja aku mau. Hariku adalah pertualangan, hidupku serupa hutan belantara, mengerikan untuk di jelajahi sembarang manusia. Aku jelas bukan tipe manusia yang irit bicara atau miskin tersenyum, aku tipikal manusia yang mudah dicintai siapapun.
Hanya, tidak pernah benar-benar diberi kesempatan oleh seseorang untuk menyentuh duniaku dengan benar, manusia yang tidak pernah menetap di suatu tempat ini lebih senang menjadi seseorang yang asing bagi orang lain, aku tak suka dikenang manusia lain sebagai suatu yang menyenangkan, aku tak suka mengecewakan kalau pada akhirnya aku memang harus segera menghilang.
Duniaku adalah diriku sendiri, tujuan hidupku adalah menyenangkan diriku sendiri. Bukan demi siapapun atau untuk apapun, mungkin manusia ini adalah salah satu dari segelintir manusia yang bosan menaruh harap pada tubuh selainnya, aku mau bahagiaku adalah aku sebagai pencipta.
Tapi mau sampai kapan begini? Pertanyaan itu kadang menelisik dalam kepalaku, apa nanti aku akan bertemu pada seorang manusia yang mampu mengurai kutukan ketidak betahannya itu. Apa akan ada yang benar-benar bisa menjadi alasanku tinggal dan berhenti berpetualang, ketika aku sudah menemukan rumah.
Rumah yang benar-benar rumah.
-
Hidup adalah rentetan perjalanan dalam mencicipi kesedihan. Dunia yang kita tempati seolah hanya neraka yang disulap dengan berbagai warna. Pernah sekali aku mengutuk Tuhan dan alam raya. Bahkan usaha melenyapkan diri sudah tak bisa dihitung dengan jari. Sesekali aku ingin berlayar, lalu berharap kapalku karam dan aku pun ikut tenggelam. Apa kita menjemput mati saja? Barangkali dosa besar akan menyelamatkan kita nantinya.
Namun hidup juga bukan hanya perihal senang dan sedih. Seumpama roda yang berputar tak tahu henti. Kala dalam titik terpatah itu, seseorang menyelamatkanku. Bahagia memang jadi suatu hal yang tak pasti, namun usaha menjemput gelak yang tersebar di penjuru jagat raya, itu sungguh adanya.
“Jika untuk memberimu kesempatan menyerah, saya tidak bisa. Tapi untuk memberi kesempatan yang lain, seperti halnya kesempatan hidup bersamamu, saya mau. Mau sekali.”
Suara berisik dari kepalaku mendadak jadi sunyi. Seketika ia melenyapkan segala kebisingan dunia. Dan aku tahu, bahwa hanya dialah yang bisa melakukannya. Cuma dia.
Dia yang paling mengerti mengapa aku ingin sekali pergi jauh dari tanah kelahiran sedang disini ada rumah yang bisa jadi tempat pulang. Kukatakan padanya bahwa aku ingin pergi ke tempat dimana aku bisa berteriak dan menangis sepuasnya, lalu ia menjawab, “pelukanku adalah tempat yang tepat.”
Ia paling mengerti bagaimana rumitnya isi kepalaku. Betapa banyak pertanyaan perihal hidup yang semakin hari semakin mengerikan. Tentang untuk apa kita dilahirkan sedang kita tidak menginginkannya. Tentang mengapa dulu kita begitu berani mengatakan sanggup untuk hidup sedang saat ini yang kita inginkan hanyalah mati. Tentang apa dan dimana titik akhir dari tujuan hidup. Tentang mengapa menjadi dewasa begitu melelahkan. Juga, bagaimana jika yang kita lakukan hanya menunggu giliran mati. Apa kita hanya akan menjadi seonggok mayat yang ditempatkan dalam neraka paling kejam? Hidupku mungkin tak lebih sebatas mengikuti aturan semesta; untuk tetap hidup. Aku sama seperti kebanyakan orang yang memikirkan masa depan, bangun untuk sesuap nasi dan mencari-cari jawaban atas pertanyaan malam tadi. Waktu bagai kepulan asap yang membungbung lalu sekejap lenyap. Namun untuk hidup kali ini, aku ingin bisa menyulapnya. Tak mesti selayaknya surga tapi cukup untuk memiliki alasan bertahan lebih lama. Aku ingin hidup, lima tahun, sepuluh tahun, bahkan seribu tahun lagi. Dan alasan paling luas mengapa aku ingin tetap hidup adalah, keberadaan satu manusia yang menorehkan warna pada kanvas kelam dunia.
Ia tidak membawaku kemana-mana, namun aku sudah menemukan arti kata pulang dan rumah yang sesungguhnya.
Posting Komentar
0 Komentar