SUWUN, SEKO WETENGKU TUAN CORONA
Di satu sisi, cepatlah berlalu Tuan, kasihan Tuan Tuan ku
Kasihan sepatu dan kain berkera licin itu.
Di sisi lain, tak apa, aku senang tuan
Tak ada lebih baiknya sebelum tuan, sama saja.
Perkenalkan kami, mendapat berkah baru baru ini.
Dipinggir pinggir dan diatas teras toko toko terkunci, kami beristirahat.
Tidur kami hangat dan nyenyak.
Mentari menyambut dengan belaian, lalu membangunkan.
Kami tanpa apa apa, bergegas bekerja untuk wetengku.
Menapak aspal hingga ujung keramaian.
Siapa ingin meminta, jika pilihan lain ada.
Kami terjebak, sebenarnya tak mengira saat diajak.
Berangan kota kota besar menerima dengan hangat, ternyata kami hanya tersimpan di pinggiran pinggiran, kotor dan tak layak.
Bertahun tahun seperti itu, rasanya hingga akhir nyawa tak kan beranjak.
Roda kehidupan berputar.
Sayangnya, kami tak sanggup berpegang di roda itu hingga berganti posisi adalah mustahil.
Weteng ku, anak anak kecil, lansia lansia, ibu ibu hamil, berdemo bukanlah hal yang langkah.
Begitulah kehidupan kami punya weteng.
Tuan,
Baru baru ini tuan tuan bersepatu mengkilap menyapa.
Meski senyumnya terhalang kain itu, dan akhirnya menutupi ringkihan bibir rapuh kami.
Memberikan sekotak hidup untuk kami, weteng.
Siapa hendak diminta jika keramain seketik membisu.
Lalu lalang, berubah kosong melongkong.
Dirumah saja, membuat weteng kami berdemo ria.
Siapa sangka sekotak hidup, menjadi dekotak hidup dan seterusnya.
Baru kami rasa, menerima tanpa harus bersipu meminta.
Kami mengharap kotak kehidpuan dari tuan tidak terhenti setelah tuan ini pergi.
Bagaimana tidak kami bersyukur, bagaimana pula bisa kami bersyukur.
Antara nyaman dengan ini, dan kasihan dengan negri ini.
Dilema kami, pemilik weteng gemar berdemo dan anarki.
Nuwun.
Sudah cukup tuan corona terima kasih sudah memanja.
Penulis: Muhamad Ikbal Agustami
Posting Komentar
0 Komentar