Antara Kesuksesan dan Kebahagiaan
Setiap orang
pasti mengingikan kebahagiaan, entah itu kaum cilik atau pun kaum elit
sekalipun. Namun, terkadang, kebahagiaan itu sering kita batasi dengan syarat
harus terpenuhinya perkara ini-itu dulu. Kita harus mencapai tindakan tertentu untuk
mencapai titik kebahagiaan di hidup kita. Titik bahagia tersebut biasa kita maknai
sebagai suatu kesuksesan. Dalam hal ini, kebahagiaan kita bergantung pada
kesuksesan yang kita lakukan. Semakin kita sukses, maka kita akan semakin
bahagia. Sebaliknya, jika kesuksesan itu tak kunjung kita gapai, maka
kebahagiaan kita akan tertunda hingga tercapainya suatu kesuksesan seperti yang
telah kita harapkan sebelumnya.
Meski terlihat pemaknaan
kita terhadap kata “bahagia” itu rumit—lantaran harus mencapai
kesuksesan-kesuksesan tertentu untuk meraihnya—tetapi bukan berarti hal ini
salah. Pada 1943, seorang psikolog humanistik dari Amerika, Abraham Maslow
menganggap kebahagiaan seseorang memang bergantung pada kesuksesan yang
dicapainya. Kesuksesan seseorang dapat tercapai dengan terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan atau standar pencapaian yang telah ditetapkannya, dimulai dari
yang terendah hingga yang paling tinggi.
Menurut Maslow,
untuk mencapai suatu kesuksesan tertentu harus melewati kesuksesan-kesuksesan
lain terlebih dahulu. Dalam Teori Hierarki Kebutuhannya, ia membagi jenjang
kesuksesan menjadi lima bagian. Dimulai dari yang terendah yakni tercapainya kebutuhan
fisiologis, dilanjut pada tercapainya kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan
sosial. Kemudian kebutuhan penghargaan, hingga yang paling tinggi yakni
tercapainya kebutuhan aktualisasi diri.
Kelima
kesuksesan tersebut, harus dicapai secara bertahap mulai dari yang terendah
hingga yang tertinggi. Dalam teori Maslow ini, kita tidak akan bisa memperoleh
kebutuhan akan penghargaan, sebelum mencapai kebutuhan sosial. Begitu juga,
kita tidak akan bisa memperoleh kebutuhan sosial, sebelum mencapai kebutuhan
akan rasa aman. Ini sama artinya dengan, “kita tidak akan bisa memperoleh
kebahagiaan, sebelum mencapai suatu kesuksesan”.
Dari teori
Maslow tersebut, maka wajar saja jika terdapat anggapan bahwa “kebahagiaan
seseorang itu bergantung pada kesuksesan yang ia gapai”. Kendati demikian, ada
pula anggapan lain bahwa “Tak perlu menunggu sukses untuk bahagia”. Jika kita
telisik, kebahagiaan semacam ini merupakan jenis kebahagiaan yang sederhana.
Artinya, seseorang akan tetap merasakan kebahagiaan, meskipun kesuksesan yang
ia harapkan belum terpenuhi. Bahkan, tidak terpenuhi sekalipun.
Anggapan semacam
ini seperti yang diutarakan oleh Fisikawan kelahiran Jerman, Albert Einsten.
Einsten beranggapan bahwa kesuksesan bukanlah kunci kebahagiaan. Dalam
tulisannya pada sebuah kertas milik Imperial Hotel Tokyo mengatakan, “Kehidupan
yang tenang dan sederhana membawa lebih banyak kebahagiaan daripada mengejar
kesuksesan yang selalu dipenuhi kegelisahan.”
Kutipan Einsten
tersebut menunjukkan bahwa kebahagiaan seseorang tak terbatas pada
kesuksesan-kesuksesan yang telah tercapai. Bahkan, kecenderungan dalam mengejar
satu kesuksesan, justru hanya membuat hati kita semakin gelisah. Hal ini mungkin
terjadi lantaran kita tidak segera meraih kesuksesan tersebut.
Di samping
kutipan Einsten tersebut, asisten profesor Martin Seligman, Shawn Anchor dalam
bukunya “The Happiness Advantage”, menyatakan bahwa ketika seseorang merasa
bahagia, pikiran dan mood menjadi lebih positif. Hal ini mendorong seseorang
untuk lebih cerdik, fokus, gigih, dan termotivasi. Alhasil, seseorang akan
lebih produktif dan lebih berpotensi untuk mencapai titik sukses.
Pada dasarnya,
kesuksesan dan kebahagiaan memang memiliki keterkaitan satu sama lain. Entah
kesuksesan yang menentukan kebahagiaan, atau justru sebaliknya, kebahagiaanlah
yang mendorong tercapainya kesuksesan. Namun, hal ini hanyalah soal persepsi. Tidak
penting dahulu mana antara keduanya, selagi persepsi yang kita pilih berdampak
baik bagi diri kita dan tidak merugikan orang lain.
Karya : Muhammad Fathur Rohman
Editor : Albert Iqbal
Posting Komentar
0 Komentar