Negeri Di Ujung Gelisah
Di bawah langit yang muram,
aku melihat negeri ini berjalan pincang.
Jalan-jalan dipenuhi suara,
namun suara itu sering dibungkam
oleh dinding-dinding kekuasaan
yang terlalu tebal untuk ditembus doa rakyat.
Gelisah tumbuh di dada,
seperti benih yang dipaksa layu
sebelum sempat berbuah.
Orang-orang muda turun ke jalan,
membawa kata yang lahir dari luka,
menyulam teriakan menjadi puisi perlawanan.
Wahai negeri,
engkau berdiri di tepi cermin sejarah.
Lihatlah wajahmu
ada retakan di sana,
ada bayangan rakyat yang kau abaikan,
ada tangis yang menunggu dipeluk
bukan dengan janji,
melainkan dengan keberanian menepati.
Gelisah ini bukan sekadar amarah.
Ia adalah cinta yang dipaksa diam,
ia adalah harapan yang terlalu lama terikat,
ia adalah kesetiaan rakyat
yang menunggu negara ini benar-benar bernama tanah air.
Jika terus kau tutup telinga,
suara-suara itu akan menjelma badai.
Jika terus kau picingkan mata,
bara itu akan menjelma api.
Dan tak ada tembok setinggi apa pun
yang mampu menahan gelombang rakyat
ketika kesabaran telah menjadi abu.
Namun aku masih percaya,
di sela-sela retakmu akan tumbuh bunga kecil.
Bunga yang menolak layu,
bunga yang lahir dari air mata,
dari keringat yang jatuh di aspal,
dari doa ibu-ibu di bilik rumah sempit.
Negeri di ujung gelisah,
bangunlah dari tidur panjangmu.
Sebab rakyat bukan sekadar bayang
yang bisa kau abaikan di lorong waktu.
Mereka adalah nadi,
mereka adalah tulang,
mereka adalah jiwa yang membuatmu hidup.
Dan jika engkau berani menatap mata mereka,
engkau akan mengerti
bahwa semua gelisah ini
hanyalah panggilan cinta,
agar Indonesia pulang pada dirinya sendiri jujur, adil,dan
sungguh-sungguh merdeka
Karya :
Editor : Akhmad Ulil


Posting Komentar
0 Komentar